Sorotrakyat.com | Pematangsiantar – Tim Kuasa Hukum Horas Sianturi dan Nur Fadilah menyampaikan keberatan atas pemberitaan daring terkait perkara hukum klien mereka. Mereka menilai narasi pemberitaan tersebut menggiring opini publik dan tidak berimbang.
Advokat Tutik Rahayu, S.H., yang merupakan bagian dari tim penasihat hukum Horas Sianturi, saat dikonfirmasi pada 23 April 2025, menyayangkan pemberitaan yang dianggap tidak objektif dalam menyoroti penanganan kasus oleh Kejaksaan Negeri Simalungun.
Perkara ini bermula dari sengketa warisan antara Marwati Salimi Cs dan Mariana, yang telah menguasai aset keluarga selama lebih dari 30 tahun. Pada tahun 2020, kedua pihak mencapai kesepakatan damai melalui mediasi yang difasilitasi oleh pengacara Horas Sianturi, S.H. Kesepakatan perdamaian ini kemudian dituangkan dalam akta notaris di Pematangsiantar.
Sebagai bagian dari kesepakatan damai, tiga Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Mariana dikembalikan kepada Marwati Salimi Cs. Dua di antaranya kemudian dikuasakan penjualannya kepada Horas Sianturi melalui Surat Kuasa Nomor 01 dan 04.
Berdasarkan surat kuasa tersebut, Horas Sianturi memiliki wewenang untuk menjual dua properti yang berlokasi di Sinaksak, Simalungun, dan Jalan Cokro, Pematangsiantar. Salah satu properti yang dijual adalah bangunan bekas gudang yang telah terbakar, dengan hasil penjualan besi tua senilai Rp85 juta.
Dana hasil penjualan tersebut, beserta dana pribadi dari Horas Sianturi, digunakan untuk merenovasi aset Mariana. Sesuai dengan kesepakatan, 20% dari hasil penjualan menjadi hak Horas Sianturi, sementara sisanya diperuntukkan bagi pihak keluarga.
Tim kuasa hukum berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap Horas Sianturi oleh penyidik Polres Simalungun adalah tindakan prematur. Mereka menegaskan bahwa tidak ada unsur pidana dalam tuduhan penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan penadahan (Pasal 480 KUHP). Selain itu, tidak ada penyitaan barang bukti maupun pemasangan garis polisi (police line) di lokasi yang disebutkan dalam perkara.
“Klien kami telah bersikap kooperatif sejak awal hingga berkas dinyatakan lengkap (P21). Tidak dilakukannya penahanan terhadap klien kami saat pelimpahan perkara merupakan hak diskresi hukum yang dimiliki oleh jaksa,” tegas Tutik Rahayu.
Upaya keadilan restoratif (restorative justice) yang diupayakan oleh Kejaksaan tidak berhasil karena pihak pelapor, Mariana, tidak pernah hadir secara langsung. Ia hanya mengutus kuasa hukumnya yang, menurut tim kuasa hukum Horas Sianturi, sempat meminta imbalan hingga Rp500 juta. Permintaan ini dinilai tidak wajar dan bertentangan dengan prinsip keadilan.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum mengimbau media untuk menjunjung tinggi etika jurnalistik dan menyajikan informasi secara adil serta mendidik. Mereka mengingatkan pentingnya asas praduga tak bersalah dan meminta agar tidak ada upaya penggiringan opini publik terkait kasus ini.
“Jangan sampai digiring opini seolah-olah jaksa wajib melakukan penahanan terhadap tersangka. Penahanan adalah kewenangan subjektif aparat hukum, bukan merupakan suatu keharusan,” pungkas Tutik Rahayu. (DR)
Sumber: Humas MIO INDONESIA
Editor & Penerbit: Den.Mj