80 Tahun Merdeka: Rakyat Sejahtera? Janji Manis di Bawah Bayang-Bayang Utang dan Kerukan Alam

Eksploitasi sumber daya alam Indonesia yang terus menerus (emas, nikel, minyak) digambarkan sebagai aliran darah yang menyengsarakan rakyat kecil, sementara utang negara menggunung dan segelintir penguasa semakin kaya raya. Sebuah visualisasi miris di usia kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.

Sorotrakyat.com | Kota Bogor — Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan, sebuah refleksi mendalam datang dari para tokoh masyarakat, menyoroti janji ‘Rakyat Sejahtera’ yang terasa semakin jauh. Ketua Umum Forum Masyarakat Muslim Putra Daerah Nusantara (FMMPDN), R.Qomaruddin Kamal, seorang budayawan yang dikenal karena ketajamannya dalam melihat realitas sosial, bersama dengan Dewan Penasehat DR. Kun Nurachadijat SE., MBA., di kantor Sekretariat nya jalan raya Taman Cimanggu, nomor 1 A, Kota Bogor, menyampaikan keprihatinan yang menggigit tentang kondisi bangsa.

Dalam sebuah diskusi terbuka yang menarik perhatian, keduanya menyajikan sebuah gambaran yang mungkin terasa pahit, namun penting untuk direnungkan. “Alam terus dikeruk, utang negara semakin menumpuk, ekonomi rakyat semakin terpuruk, kantong para penguasa semakin gemuk,” demikian bunyi kutipan yang menjadi inti dari keresahan mereka.

Dr. Kun Nurachadijat, dengan latar belakang akademis dan researcher nya, menjelaskan bahwa seharusnya pengeksplorasian Sumber Daya Alam (SDA) dengan kemakmuran rakyat memiliki korelasi positif kuat. Namun anomalinya, korelasi langsung antara eksploitasi sumber daya alam yang masif malah justru peningkatan utang negara.

“Kita melihat bagaimana nikel, emas, dan minyak terus-menerus dieksploitasi atas nama pembangunan. Namun, hasil dari ‘kerukan’ ini seolah tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi, utang negara justru membengkak,” ujar Profesor Kehormatan atas metode Visi Merah Putih ini. “Suatu korelasi yang sangat ganjil,” tandasnya lagi, Jum’at (15/08)..

Pernyataan ini sejalan dengan visualisasi yang disajikan oleh R.Qomaruddin Kamal. Dalam pandangannya sebagai budayawan, ia menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang dilambangkan dengan emas, nikel, dan minyak, seperti darah yang terus mengalir keluar dari tubuh ibu pertiwi. “Air mata” yang menetes dari mata ibu pertiwi adalah simbol dari penderitaan dan kesedihan rakyat yang tak kunjung sejahtera, sementara para elit politik dan ekonomi terus menikmati keuntungan dari eksploitasi tersebut.

Pada 80 tahun silam, para pendiri bangsa memimpikan sebuah negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Kesejahteraan rakyat adalah janji utama dari kemerdekaan. Namun, menurut R.Qomaruddin Kamal, janji itu kini terasa seperti fatamorgana. “Rakyat seolah disuguhi janji-janji manis pembangunan, tetapi di balik itu, mereka harus menanggung beban utang yang besar, sementara sumber daya alam kita habis,” ungkapnya.

Diskusi ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk introspeksi. Para tokoh ini mengajak semua pihak untuk kembali ke esensi kemerdekaan. “Apakah kita benar-benar merdeka jika salah satu indikatornya daya beli rakyat kuat, ini malah masih terpuruk? Apakah kita benar-benar berdaulat berdiri diatas kaki sendiri amanah Trisaktinya Bung Karno jika kebijakan-kebijakan strategis kita masih dijalankan oleh utang luar negeri?,” tanya Dr Kun Nurachadijat retoris.

Kedua Tokoh ini menyerukan pentingnya perubahan paradigma. Pembangunan tidak boleh lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semu yang mengorbankan alam dan rakyat. Penting untuk mengutamakan keberlanjutan, keadilan, dan kesejahteraan yang merata. Pemanfaatan sumber daya alam harus dikelola secara transparan dan hasilnya harus benar-benar dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir kelompok.

Mereka menyatakan hal ini sebagai pengingat bahwa 80 tahun kemerdekaan adalah momen yang tepat untuk mengevaluasi kembali perjalanan bangsa. Ini adalah saat untuk bertanya, “Sudahkah janji kemerdekaan benar-benar terpenuhi?” dan “Bagaimana kita bisa memastikan bahwa 80 tahun ke depan, Indonesia benar-benar menjadi negara yang sejahtera dan berdaulat?”

Ujung ujungnya pembangunan itu seharusnya adalah di kebahagiaan atau maximalization of utility, bukan penumpukan kekayaan atau maximalization of wealth.

“Ada salah kaprah fatal memahami pembangunan ekonomi yang sangat mendasar selama 80 tahun ini. Akhirnya terpaksa diakui bahwa pembangunan ekonomi sudah punah digantikan pembangunan kapitalis keserakahan, ini sejalan juga dengan pendapat pemenang Nobel Ekonomi 2002 Joseph E Stigliz dan Prof Dorodjatun. Good bye dengan trickle down effect. Di 80 tahun kemerdekaan ini, pembangunan badannya mendesak di swiched menjadi pembangunan jiwanya yakni pembangunan paradigmatik, tanpa segera disegerakan strategi ini maka Indonesia seharusnya Indonesia Emas menjadi Indonesia Cemas,” tegas Kun, ekonom lulusan UI ini.
(KDR)

Editor & Penerbit: Den.Mj

Exit mobile version