Sorotrakyat.com | Kota Bogor — Wali Kota Bogor, Bima Arya yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyampaikan lima hal masukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), yakni pengaturan pajak dan retribusi daerah, transfer kepada daerah, pengelolaan belanja daerah, pengawasan APBD dan pinjaman daerah.
Hal ini disampaikannya secara virtual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komite IV DPD RI pembahasan pandangan dan pendapat DPD RI terhadap RUU HKPD di ruang kerjanya, Balai Kota Bogor, Selasa (24/8/2021).
Menurut Bima Arya, lima hal ini merupakan kompilasi masukan dari seluruh anggota APEKSI yang sebelumnya digali dan berproses cukup lama.
Pertama, mengenai pengaturan pajak dan retribusi daerah, Bima Arya menyampaikan bahwa persoalan utama di daerah adalah bagaimana memaksimalkan penerimaan.
“Selama ini yang selalu menjadi persoalan adalah bagaimana memastikan jumlah yang masuk dari wajib pajak semua tidak ada kebocoran masuk ke kas daerah,” katanya.
Untuk itu selaku Ketua Dewan Pengurus APEKSI, ia mengusulkan beberapa hal, seperti perlu diatur dalam undang-undang agar bisa memungkinkan terjadinya pertukaran data antara kementerian keuangan dengan masing-masing pemerintah daerah terkait wajib pajak.
“Selain itu juga memungkinkan ada mekanisme yang memungkinkan jumlah pajak yang dibayarkan oleh konsumen langsung ke kas daerah. Jadi tidak dilakukan self assessment oleh wajib pajak, hal ini untuk meminimalisir terjadinya kebocoran. Jika ini bisa dilakukan akan meningkatkan PAD,” kata Bima Arya.
Masih terkait pajak dan retribusi daerah, APEKSI mengusulkan agar pemilikan, penguasaan atau pemanfaatan atas Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang digunakan untuk pelayanan publik dan kegiatan sosial atau objek P2 agar tidak dikenakan PBB-P2.
Menurutnya, karena hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan ada realita yang harus disesuaikan yang tidak dibuatkan oleh wajib pajak. APEKSI sepakat dengan RUU tersebut untuk menambahkan jenis pajak baru untuk pemerintah kabupaten/kota, yaitu PKB dan BBNKB sehingga diharapkan bisa memperkuat kapasitas fiskal pemda serta pajak terutang atas PKB dan BBNKB dapat berkurang.
Usulan berikutnya adalah dalam usaha mengatasi permasalahan sampah di kota yang cukup aktif untuk ditambahkan jenis pajak yang khusus bagi pemerintah kota, yaitu pajak sampah. Hal ini disadari kemungkinan akan munculnya polemik atau kontroversi terkait retribusi kebersihan menjadi pajak sampah.
Tetapi menurut Bima Arya, hal ini perlu dikaji bersama-sama agar warga kota bisa bersama-sama berkontribusi dengan melakukan pengurangan dan penanganan sampah agar tidak dikenakan pajak oleh peraturan.
Untuk pajak kendaraan bermotor, APEKSI memberikan saran agar bisa dipertimbangkan, melalui RUU ini untuk menjadi objek pajak kabupaten/kota. Pertimbangannya karena ada efisiensi terkait pemungutan karena jika provinsi yang memungut harus menempatkan staf di kabupaten atau kota sehingga menimbulkan biaya operasi yang lebih besar lagi.
Masih hal yang sama, diusulkan adanya pengaturan yang memungkinkan agar mekanisme pemilik kendaraan bermotor melakukan mutasi kendaraannya di kota/kabupaten dimana kendaraan tersebut digunakan. Ini dikarenakan adanya eksternalitas atas kendaraan bermotor menjadi tanggungjawab kota dan kabupaten.
“Untuk hal-hal tersebut jika dilihat dari sisi pengawasan dan penegakan hukum akan lebih mudah apabila dilakukan kota atau kabupaten,” ungkapnya.
Untuk bagi hasil pajak provinsi, Bima Arya menyampaikan, APEKSI sepakat dengan pengaturan bagi hasil pajak provinsi yang diformulasi dalam RUU ini dan mengusulkan dalam pasal 25 perlu ditambah ayat yang mengatur mekanisme penyaluran bagi hasil pajak tersebut.
“Jadi, agar termin, penjadwalan, teknis dan mekanisme penyaluran pajak tadi menjadi lebih jelas dan sesuai dengan siklus penganggaran di daerah. Dengan kata lain dapat dipilih secara eksplisit dalam RUU ini agar pemerintah provinsi di seluruh indonesia mengatur secara seragam terkait penyaluran hasil pajak provinsi,” katanya.
Kedua, terkait jenis transfer ke daerah, APEKSI berpendapat bahwa perlu diusulkan jenis TKD ditambah dengan dana kelurahan dan dana insentif daerah. Bima Arya menjelaskan, bahwa dana kelurahan perlu menjadi TKD yang sejajar dengan dana desa, karena dari sisi peruntukkan hampir sama dengan dana desa.
Selain itu dana desa diusulkan ditambah satu dengan pembinaan kemasyarakatan serta dana insentif daerah diperkuat dalam RUU ini.
Untuk persentase dana bagi hasil pajak dan bukan pajak khusus bagi ibu kota provinsi dapat dipertimbangkan besarannya. Berbeda dengan kabupaten atau kota yang bukan ibu kota provinsi dan kota penyangga ibu kota.
Berikutnya untuk pajak penghasilan, perlu adanya kejelasan domisili badan usaha yang mempunyai cabang usaha atau kemitraan usaha di beberapa daerah, ini berkaitan dengan pembuatan NPWP berdasarkan domisili dari pelaksanaan usaha.
Dana Alokasi Umum (DAU), APEKSI berpendapat penghilangan angka alokasi pagu DAU nasional dalam RUU ini bukan kebijakan yang tepat dalam konteks penguatan desentralisasi fiskal.
“Usul kami agar ditambahkan ayat dalam pasal 120 di ayat 2, dengan redaksional jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto ditetapkan dalam APBN,” ujar Wali Kota Bogor.
Ketiga, untuk pengelolaan belanja daerah, khususnya belanja pegawai tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD maksimal 30 persen, APEKSI berpendapat secara gagasan sangat bagus, namun dilihat untuk realisasinya tidak mudah. Usul yang disampaikan adalah pengaturan prosentase belanja pegawai terhadap total belanja APBD dilakukan secara bertahap.
“Pertimbangan utamanya karena salah satu alokasi yang sangat besar untuk belanja pegawai adalah alokasi tunjangan daerah atau tambahan penghasilan pegawai dan tunjangan kinerja daerah. Jika penetapan batas belanja pegawai ini dibuat secara langsung setelah RUU ditetapkan, dikhawatirkan akan menimbulkan ekses-ekses negatif khususnya terkait demotivasi para pegawai,” jelas Bima Arya.
Keempat, untuk pengawasan APBD, diharapkan dilaksanakan oleh satu lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden atau BPKP dengan dasar hukum yang kuat, sehingga lembaga tersebut bisa menjalankan fungsi pre audit atas perancangan perda APBD. Hal tersebut mengingat jenis pengawasan yang dihadapi pemerintah daerah sudah cukup berlapis oleh berbagai pihak.
Kelima, terkait pinjaman daerah APEKSI mengusulkan pengaturan keseragaman daftar jenis dan bentuk pinjaman daerah yang dapat diakses pemerintah daerah, kemudian pendampingan dan penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk memfasilitasi Feasibility Study melalui lembaga penjamin dan sinkronisasi dari peraturan terkait dengan peningkatan PAD dalam kesungguhan dalam pembayaran pinjaman. (Red)
Editor & Penerbit : Den.Mj