Beragama Karena Takut Dikucilkan: Fomo Sosial Di Balik Jamiahan

Gambar Iluustrasi FOMO

Sorotrakyat.com I Ragam – Malam Jumat, Kampung Itu Sunyi Bersuara.
Semua warga tampak berjalan beriringan menuju rumah Pak Kyai. Mereka mengenakan sarung terbaik, peci hitam mengkilat, dan wajah penuh formalitas. Satu rumah tampak gelap dan sepi. Pemiliknya, sepasang suami istri muda, tidak ikut kegiatan malam itu.


“Kurang aktif di jamiahan,” bisik tetangga. “Masih muda, tapi udah beda jalur.”
Pola ini berulang. Kegiatan keagamaan rutin di banyak kampung sering kali menjadi barometer iman. Bukan dari keikhlasan, melainkan dari partisipasi sosial. Tidak hadir? Berarti tidak taat.

banner 325x300

Apa Itu FOMO Sosial Berbaju Agama?

FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out, atau dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai ketakutan akan tertinggal. Ini adalah kondisi psikologis ketika seseorang merasa cemas atau takut kehilangan pengalaman, momen, atau keterlibatan yang sedang dinikmati orang lain.


FOMO tidak selalu hadir dalam bentuk dunia maya atau tren digital. Dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, terutama di lingkungan kampung atau komunitas yang homogen, FOMO muncul dalam bentuk yang lebih halus namun kuat dampaknya.


Dalam lingkup keagamaan, FOMO sosial berarti:
• Takut dianggap kurang religius karena tidak hadir di pengajian atau jamiahan,
• Takut dicap “berbeda” atau “tidak sejalan” dengan komunitas,
• Terpaksa mengikuti praktik keagamaan tertentu agar tetap diterima secara sosial.
Ini bukan lagi soal iman, tapi soal penerimaan sosial. Ibadah dilakukan bukan karena keyakinan, tetapi karena tekanan.

Pandangan Islam: Iman Itu Personal, Bukan Lomba Sosial
Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Wa mā umirū illā liya‘budullāha mukhliṣīna lahud-dīn
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan ikhlas…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)

Baca Juga:  Babinsa Gunung Batu dan Warga Bersihkan Pasar Tradisional


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Innamal-a‘mālu bin-niyyāt
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, kehadiran fisik bukan ukuran utama. Niat, pemahaman, dan keikhlasanlah yang lebih bernilai. Islam tidak menuntut semua orang untuk beribadah dengan cara dan ritme yang sama.


Bahaya FOMO Agama:

  1. Kemunafikan Sosial – Ikut kegiatan bukan karena paham, tapi gengsi.
  2. Penghakiman Sepihak – Orang yang tidak hadir langsung dicap menyimpang.
  3. Pemaksaan Kultural – Komunitas membentuk aturan tak tertulis yang mengekang.
    FOMO sosial berbaju agama membuat seseorang kehilangan kebebasan berpikir dan bertindak atas dasar kesadaran pribadi. Ketika ibadah berubah menjadi rutinitas karena tekanan, maka nilai spiritualnya memudar.
    Solusi: Ruang Aman untuk Bertumbuh
    Komunitas keagamaan seharusnya menjadi tempat bertumbuh, bukan menghakimi. Alih-alih menuntut kehadiran fisik, dorong dialog terbuka. Tanyakan: “Bagaimana kabar imanmu hari ini?” bukan “Kenapa tidak datang pengajian?”
    Hargai proses keimanan masing-masing orang, karena setiap perjalanan spiritual itu unik. Tidak semua orang bisa hadir secara fisik, tapi bisa jadi hatinya lebih dekat kepada Tuhan.
    Penutup: Iman Adalah Jalan Sunyi
    Pada akhirnya, iman adalah urusan hati. Ia tidak selalu terpantau oleh kehadiran. Kadang justru tumbuh subur dalam kesendirian, dalam pencarian, dalam tanya yang jujur. Jangan biarkan FOMO sosial mengaburkan makna agama.
    Beragama bukan untuk tampil. Tapi untuk tersambung. Bukan untuk dipamerkan. Tapi untuk dimaknai

Redaksi SorotRakyat mengundang pembaca untuk berbagi kisah serupa dari kampung halaman Anda.

Disusun Oleh : Tim Redaksi Sorotrakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *