Bencana Sumatra, Bukti Bencana Perusakan Alam Dalam Sistem Kapitalisme

811 Korban Jiwa! Bencana Banjir Sumatra Utara, Aceh, Sumatra Barat: Kapitalisme dan Izin 631 Perusahaan Biang Kerok 1,4 Juta Hektar Hutan Gundul

Sorotrakyat.com | Opini — Menjelang akhir tahun 2025 masyarakat Indonesia khususnya di belahan Sumatra bagian utara kembali berduka. Dimana pada tanggal 24 sampai 26 November 2025 telah terjadi banjir bandang dan longsor yang menimpa wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Banjir bandang yang terjadi begitu dasyat, sehingga meluluhlantahkan seluruh wilayah yang dilalui.

Di wilayah Sumatra Utara ada sekitar 21 wilayah yang terkena dampak akibat banjir bandang dan tanah longsor ini, diantaranya meliputi wilayah Kota Medan, Wilayah Deli Serdang, Kabupaten Tanah Karo, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan, Kota Binjai, Pematang Siantar. Sedangkan wilayah Aceh meliputi Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Pidie Aceh, dan Aceh Tengah. (Tempo, 30 November 2025)

banner 325x300

Menurut Kasubbid Bidang Penerangan Masyarakat Polda Sumut Ajun Komisaris Besar Siti Rohani bahwa “bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah hukum Polda Sumut, diakibatkan curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir”. (Tempo, 30 November 2025).

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban banjir yang meliputi wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat hingga Rabu 3 November 2025, korban meninggal dunia mencapai 811 orang, sedangkan yang masih dalam pencarian mencapai 623 orang. Selain itu bencana ini juga menyebabkan 2600 orang luka-luka, 3,2 juta terdampak, 593,9 ribu mengungsi, 3400 rumah rusak berat, 2100 rusak sedang, 4900 rusak ringan. Dan juga kerusakan fasilitas umum seperti kerusakan fasilitas sekolah sebanyak 215 unit, 9 fasilitas kesehatan, serta 132 fasilitas ibadah. (FajarPos NetWork, 4 Desember 2025)

Banyaknya korban jiwa, fasilitas umum serta rumah yang rusak bahkan hanyut terbawa banjir bandang sungguh sangat memprihatinkan. Terlebih lagi melihat banyaknya kayu gelondongan yang terbawa hanyut, ini menandakan adanya penebangan hutan besar-besaran, tentu hal inilah yang menyebabkan terjadinya banjir bandang. Dimana tidak ada lagi resapan air hujan di hulu DAS.

Baca Juga:  Korban Longsor Meninggal Dunia di Gang Kepatihan, Dedie Rachim Sampaikan Belasungkawa

Menurut keterangan Walhi bahwa di Wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat sekitar 1,4 juta hektar hutan digunduli, ini berlangsung dari tahun 2016 sampai 2024, semua ini merupakan perbuatan dari 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU Sawit, PBPH, Geotermal, izin PLTA, izin PLTM (Walhi, 2 Desember 2025). Sehingga saat ini luas hutan yang tersisa hanya sekitar 30.568 Ha di wilayah Sumatra Utara.

Adanya pemberian izin oleh pemerintah bagi ratusan perusahaan untuk menggunduli hutan, ini menandakan bahwa pemerintah tidak mengelola Sumber Daya Alam dengan baik. Dimana pemerintah menyerahkan pengelolaan SDA kepada pihak swasta, yang tentunya akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi para pengusaha tersebut.

Begitulah sistem Kapitalis yang berlaku saat ini, yang senantiasa memberikan keleluasaan bagi pihak swasta sebagai kapital pemilik modal) untuk menguasai sumber daya alam. Inilah bentuk dari kebebasan kepemilikan, dimana SDA yang seharusnya milik negara yang digunakan sebesar- besarnya untuk kesejahteraan rakyat, diserahkan pada pihak swasta.

Kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan swasta, membuat rakyat semakin sengsara dengan dampak buruk yang ditimbulkannya. Seperti hal banjir bandang di Sumatra bagian utara ini. Berapa banyak masyarakat yang kehilangan tempat tinggal serta harta bendanya.

Mereka tinggal di pengungsian, dengan tempat yang seadanya, tidak ada penerangan lampu, persediaan air bersih, pakaian bersih, juga makanan. Terlambatnya pasokan bantuan dari pemerintah, menambah kesengsaraan masyarakat di wilayah yang terdampak bencana. Bahkan wilayah Aceh Tamiang, harus minum dari air banjir, pisang mentah, karena lambatnya bantuan dari pemerintah.

Begitulah pemimpin dalam sistem saat ini, tidak sepenuhnya memperhatikan dan mengurusi kepentingan rakyat. Mereka hanya sibuk dengan kepentingan para oligarki untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Bahkan para pemimpin kurang bertanggung jawab terhadap dampak buruk yang dirasakan masyarakat akibat dari kebijakannya.

Baca Juga:  Akses Pasar Jambu Dua Bogor: Kini Dua Arah, Lebih Nyaman untuk Pengunjung!

Para pemimpin juga tidak bertindak tegas terhadap para pelaku penggundulan jutaan hektar hutan, yang berakibat banjir bandang yang begitu dahsyat. Bahkan pemerintah terkesan menutup-nutupi segala perbuatan para penguasa yang telah memberikan izin atas penggundulan tersebut. Dengan kepemimpinan seperti ini, sangat sulit untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Sungguh berbeda dengan Islam, dalam Islam seorang pemimpin harus senantiasa memperhatikan dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Setiap dari kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (H.R Bukhari Muslim).

Begitu pula dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam Islam sepenuhnya dikelola oleh negara, tidak boleh dikelola bahkan dimiliki oleh individu maupun swasta. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, air, rumput (padang rumput), api” (hadist Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam Islam Sumber Daya Alam (SDA) merupakan hak kepemilikan umum yang sebesar-besarnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Kepemimpinan dalam Islam begitu penuh dengan tanggung jawab, dimana setiap kebijakan yang dikeluarkan senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan para oligarki. Islam melarang adanya pengrusakan hutan, karena ini akan mendatangkan bencana yang besar bagi masyarakat disekitarnya.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 41 yang artinya “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka, sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Dalam sistem Islam setiap pelaku pengrusakan sumber daya alam diberi sanksi yang memberi efek jera.

Dengan sistem Islam masyarakat hidup penuh dengan kesejahteraan, karena seluruh aspek kehidupannya diatur dengan syariat Islam, serta memiliki pemimpin yang amanah dalam mengurusi kepentingan masyarakatnya. Sehingga masyarakat dapat terpenuhi seluruh kebutuhan.

Baca Juga:  Maknai HJB ke 541, Plt. Bupati Bogor Ajak ASN dan Masyarakat Bangun Kekompakan Untuk Mewujudkan Kemakmuran

Selain itu pemimpinya akan senantiasa memperhatikan keselamatan rakyatnya, dengan tidak membuat kebijakan yang akan mendatangkan bencana bagi rakyatnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Araf ayat 96 yang artinya
“Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa disebabkan perbuatannya”.
Allahu ‘alam bishshawab.

oleh : Siti S
Editor & Penerbit: Den.Mj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *