Sorotrakyat.com | Kota Bogor — Wali Kota Bogor, Bima Arya mengikuti acara Ngobrol Virtual Ombudsman RI dengan tema ‘Kebijakan Investasi Pasca-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Perspektif Pelayanan Publik’ di Balai Kota Bogor, Kamis (5/8/2021).
Bima Arya menilai, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 ini membutuhkan penyesuaian. Pasalnya, terdapat perbedaan kondisi di setiap daerah.
Dia memaparkan, pada awalnya memang Undang – Undang ini dibentuk untuk meningkatkan investasi, namun pada perjalanannya ada target-target yang disesuaikan Presiden dan kementerian terkait. Bukan saja mengejar percepatan investasi, tetapi economy recovery dan economy growth karena pandemi.
“Nah, inilah konteksnya berbeda. Tidak ada yang memperkirakan Omnibus Law dirancang, kita akan diterjang tsunami pandemi yang begitu dahsyat, merontokan pilar-pilar ekonomi. Jadi tidak ada yang salah, tapi harus ada penyesuaian,” katanya.
Selain itu kata Bima Arya, UU Ciptaker targetnya untuk menyeragamkan kualitas perizinan dan pelayanan publik. Semua pemerintah daerah diharapkan akan ditarik dalam formulasi yang sama yaitu pelayanan, reformasi birokrasi dan perizinan.
“Dalam perjalanannya memang tidak mudah, faktor desain legalitas, kemudian ada pandemi dan disparitas kondisi sosial dan ekonomi di setiap daerah,” sebut dia.
Di Kota Bogor, pada awal kepemimpinannya telah dimulai reformasi birokrasi dan rezim perizinan sejak 2015. Bahkan, saat itu ia berhasil menangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) calo yang mengurus kafe.
“Kita tangkap OTT, begitulah realitanya. Karena itu kita fokus betul merapikan reformasi di bidang perizinan ini. Kita banyak di didik Ombudsman, KPK. Sehingga dalam satu tahun kita bisa memiliki DPMPTSP atau lembaga perizinan satu pintu. Terukur waktunya, dihitung biayanya dan transparan,” paparnya.
Selain itu, di DPMPTSP ini pemberkasannya bisa secara daring. Ada 92 jenis perizinan yang bisa dilayani, kemudian tanda tangan sudah berbasis elektronik dan sudah terintegrasi dengan NPWP, PBB-P2, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, bermitra dengan Bank BJB untuk pembayaran pajak dan retribusi.
“Sehingga 2017 kami mendapatkan penghargaan Inovasi Publik,” kata Bima Arya.
Tak hanya itu, Kota Bogor pada 2019 telah memiliki sistem yang terintegrasi dengan adanya Mal Pelayanan Publik atau MPP yang sudah menjadi rujukan nasional karena menggabungkan belasan unit instansi.
“Bisa akses secara online, bahkan antri bisa di booking. Jadi bukan saja melayani, memudahkan, tetapi membahagiakan karena ada Balai Nikah disana,” tuturnya.
“Kita belajar dari Banyuwangi, ke Kota Baku di Azerbaijan sebagai referensi kantor perizinan. Bahkan dinobatkan sebagai MPP terbaik di dunia menurut UN (United Nations atau PBB),” katanya.
Menyinggung UU Ciptaker kata Bima Arya, memang harus ada penyesuaian. Mengubah secara mendasar rezim perizinan yang sudah ada.
“Jadi, semacam ada tsunami regulasi baru. Tadinya benar-benar satu pintu, berbelok-belok lagi. Jadi kita perlu mengadaptasi lagi dengan sistem yang baru,” katanya.
Dia juga melihat ada satu persoalan dari sistem OSS ini. Target investasi dan pendapatan daerah menjadi tidak terlalu pasti, baik data maupun pendapatannya. Sebab, ada pembagian kewenangan berbeda antara pusat dan di daerah.
“Selain itu jika ada perbaikan sistem semuanya harus terpusat dan memang kami memahami menteri Investasi berusaha menurunkan aturan yang ditambahkan dan berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk memastikan semuanya terintegrasi dengan baik.
Intinya prosesnya kemudian menjadi lebih rumit,” paparnya.
Untuk itu Bima Arya memberikan sejumlah rekomendasi kepada para pihak terkait agar implementasi UU Ciptaker dalam hal perizinan dan investasi secara umum dapat berjalan dengan baik di semua daerah.
Menurut dia, hal pertama yang harus dilakukan ialah meningkatkan inovasi daerah dalam sistem perizinan, termasuk sistem elektronik penunjangnya.
Kedua, harus ada data yang jelas terkait dengan investasi sesuai dengan pembagian kewenangan yang telah diatur dalam regulasi.
Ketiga, revitalisasi dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pelayanan investasi, termasuk pengawasan penegakan hukumnya.
Keempat, mendorong investasi UMKM dan investasi dalam skala besar yang menjadi kewenangan provinsi dan pemerintah pusat.
“Meminta agar pemerintah pusat dan kementerian terkait memfasilitasi potensi investasi yang ada di setiap daerah untuk bisa mengundang investor prospektif, baik skala lokal, regional, maupun internasional,” kata Bima Arya.